secemerlang langit fajar...

bersinar dan bersemangat!

Jumat, 29 Agustus 2014

Jika Seks Halal di Luar Pernikahan

Aku dari kecil memang tak bisa diam. Selalu ingin ke luar rumah, melihat sekeliling, mengeksplorasi diri dan lingkungan, serta bersahabat dengan banyak orang. Aku memang tak sama dengan adikku yang merasa cukup duduk manis di rumah dan menikmati segala yang ada di rumah. Tak ayal aku sering menjadi sasaran kemarahan orang tuaku. Sejak SMP aku mulai biasa pulang pagi. Aku bukan anak nakal yang menghabiskan waktu dengan hal negatif. Aku berorganisasi. Dan itu membuatku kelewat militan hingga sanggup pulang lewat tengah malam. Tetapi, aku menikmati semua itu. Kurasa denyut jantungku pun dipompa dari seabreg kegiatan yang kutekuni tersebut.

Ketika menikah, sepak terjangku otomatis berkurang drastis. Ada fase di mana aku merasa tertolak dan janggal melihat sekitarku. Dan ada fase di mana aku merasa bosan dengan hidupku yang itu-itu saja di dalam kehidupan domestik. Bersyukur, aku memiliki suami yang luar biasa pengertian sehingga pada akhirnya aku diberi ruang sosial yang sangat luas untuk dapat memenuhi kebutuhan  jiwaku.

Dan entah apakah karena melihat gerakku yang tak bisa diam ini ataukah mungkin karena sebab lainnya (aku sendiri tak paham bagaimana awalnya), tiba-tiba seorang kawan bertanya kepadaku.

"Mbak, jika seks itu halal dilakukan di luar pernikahan, apa Mbak akan tetap menikah?"

Aku terperanjat mendengar pertanyaan ekstrim tersebut. Tapi aku tak lantas berpikir negatif. Pikiranku justru melayang pada masa-masa sulit di awal pernikahan, di mana aku harus ekstra beradaptasi dengan status dan peran baru. Betapa sulitnya aku waktu itu dengan berperan sebagai ibu rumah tangga an sich. With no public status at all!

Kembali lagi ke pertanyaan tadi.

Jujur, aku tak menganggap seks itu sebagai sesuatu yang teramat sangat penting. Hubunganku dengan suami menurut kami relatif normal, tidak menganggap seks sebagai rutinitas tetapi juga tidak meniadakannya. Tidak munafik, aku masih memiliki kebutuhan itu sebagai perempuan normal. Namun jika pun seks halal tanpa ikatan pernikahan, rasanya aku akan tetap menikah.

Mengapa?
Ya, karena seks bukan satu-satunya tujuan pernikahan. Esensinya pun bukan. Seks hanyalah sarana rekreasi dan reproduksi. Selain ibadah tentunya ya.. tapi aku kesampingkan dulu hal yang non debate seperti itu. Aku merasa nyaman dan aman dengan adanya seseorang yang selalu di sisiku. Aku membutuhkan teman hidup untuk berbagi. Aku juga membutuhkan seseorang untuk dicintai dan mencintai aku tanpa aku ragu untuk mengekspresikannya karena kami berada dalam sebuah ikatan yang sah. Cintaku untuknya, dan cintanya untukku. Dan tak ada yang mengganggu. Demikian harapannya. Aku tidak bisa terlibat dalam hubungan yang penuh dengan ketidakpastian. Itulah alasan-alasanku sehingga memutuskan untuk segera menikah dengan orang pertama yang serius melamar. Dan ini kurasa cukup sebagai jawaban awal, tentang pertanyaan tadi itu :)

Cukup dulu untuk malam ini.

Selasa, 26 Agustus 2014

Tuhan, Aku Ingin Memeluknya

Tuhan,
Aku ingin memeluknya
Seperti lautan memeluk pantai
Seperti langit memeluk matahari

Tapi apa daya
Kedua lenganku tak mampu menjangkaunya

Jadi biarkanlah aku memeluknya
Dengan doa
Sampaikanlah rinduku kepadanya
Dan katakanlah aku sangat menyayanginya.

Titip dia, Tuhan
Kumohon jagalah dia
Untukku.

Yogyakarta, 26 Agustus 2014

Kamis, 21 Agustus 2014

Kegelisahanku

Sudah beberapa waktu ini aku memang pecah konsentrasi. Aku nyaris tak dapat berpikir. Padahal banyak sekali yang harus kulakukan dan butuh pemikiran yang jernih. Entahlah. Dan puncaknya adalah hari ini. Aku blank. Hasilnya, aku sukses menabrak batas kota di depan rumahku dan sekaligus membuat bagian depan mobilku jadi penyok dan hancur tak karuan. Oh jiwa. Tenanglah sedikit.

Aku mau jujur, Tuhan.

Ah, seperti hendak membuat pengakuan dosa. Mungkin ini dosa. Tapi aku sungguh tak bisa mengelak lagi. Lebih baik jika aku mengakuinya, ya, mungkin demikian seharusnya, agar jiwa ini tak makin merapuh.

Tuhan, aku ingin mengadu.
Betapa terganggunya aku dengan rasa rindu yang sangat menyiksa ini. Aku tak dapat menjelaskan mengapa dan kepada siapa aku merindu. Tapi jika setiap saat aku hidup dalam kenangan seperti saat ini, aku sungguh tak punya energi hidup di dunia nyata. Aku terseret ke pusaran yang paling menyakitkan dari rindu, yaitu kegelisahan dan kecemasan akan kehilangan obyek yang dirindukan. Aku juga tak dapat menjelaskan mengapa takut kehilangan. Bukankah semua memang titipan? Aku bahkan tak punya kuasa atas hidup seseorang. Tapi tidak. Aku sungguh rindu dan sekaligus rasa ini menderaku hingga sangat takut kehilangan. Ah, seandainya jarak tiada berarti. Seandainya dapat kupeluk waktu. Seandainya dan seandainya.

Tuhan, aku takut gagal. Aku tau aku bahkan belum berbuat apa-apa, tapi aku sangat takut sampai-sampai aku tak dapat mengatur jadwal harian. Aku begitu bingung memantapkan prioritas. Aku merasa hampir kehilangan akal sehat.

Aku juga takut mengecewakan, Tuhan. Takut mengecewakan orang-orang yang berharap padaku. Tuhan.. tolong beri aku bahu yang kuat untuk memikul semua tanggung jawab.

Selesai (untuk tulisan ini).

Rabu, 20 Agustus 2014

Pagi yang Drama di Stasiun Tugu

Pagi ini drama banget di Stasiun Tugu Yogya. Ceritanya KA Taksaka Yogya-Jakarta sudah mulai bergerak meninggalkan stasiun. Tiba-tiba ada seorang pemuda dan porter yang berteriak dan berlari, "Taksaka, TUNGGU!!!" Sontak seisi stasiun menoleh ke arah mereka. Kedua orang itu berlarian panik ke peron, mengejar kemungkinan yang tersisa. Si pemuda menggedor-gedor pintu kereta yang sedang bergerak (dia pikir itu angkot yang bisa berhenti kapan saja kali yaaa.. hahaha). Orang-orang ikut berteriak. Ada yang menyemangati, ada yang meneriaki supaya masinis memperlambat laju kereta. Akhirnya seseorang di dalam kereta berbaik hati membukakan pintu dan akhirnya happy ending: sang pemuda berhasil naik ke kereta dengan sukses!

Kami tertawa melihat kejadian barusan. Beberapa calon penumpang yang masih menunggu keretanya datang berteriak, "Selamat jalan, Mas!"

Eyalaaahh .. kayak di sinetron-sinetron aja.

Have a nice first trip without Ayah&Bunda, Dear Amira..

Euforia

Aku sudah lupa kapan aku merasa bahagia memiliki saudara kandung. Mungkin bahkan tak pernah. Bukan tak bersyukur.. tetapi sejak kecil, hubungan antara aku dan adik-adikku hanya sebatas formalitas belaka. Mungkin terlalu kasar, tapi ungkapan "adik biologis" rasanya tepat untuk menggambarkan betapa hambarnya hubungan kami di dalam keluarga. Aku sebagai anak pertama mungkin tak pandai menunjukkan penerimaan dan kehangatan sebagai kakak. Entahlah.

Sejak kecil aku lebih suka bermain dengan teman-temanku daripada dengan adik-adikku. Mereka, menurutku, kurang asyik diajak bermain. Adikku yang berstatus sebagai anak kedua, dulu sangat gampang menangis (baca: cengeng) dan kebetulan Mama secara sadar atau tidak, selalu membela adikku itu. Hubunganku dengan Mama memang tak lagi harmonis sejak kehadiran adik-adikku. Menurutku, Mama lebih perhatian dan sayang kepada mereka daripada kepadaku. So, lengkaplah kejengkelanku.

Aku di masa kecil selalu memisahkan diri dari kelompok. Aku kerap menyendiri. Dan aku menikmati kesendirianku. Dalam kesendirian, aku belajar mandiri. Aku nyaris tak punya kenangan masa kecil yang indah bersama adik-adikku. Jika selama ini kisah masa kecilku didominasi dengan kisahku bersama Papa, maka kisahku dengan adik-adikku hanyalah kisah tempelan yang agak dipaksakan. Yah sebatas karena mereka "adik biologis"ku itu tadi.

Aku bermimpi memiliki seorang kakak, sebenarnya. Tapi bagaimana mungkin. Nyata-nyata aku ini anak sulung. Tapi khayalan khas anak-anak yang ada di otakku membuat aku mampu berimajinasi tinggi bahwa aku memang memiliki seorang kakak. Hingga usia dewasa pun, aku masih berandai-andai sesosok kakak itu akan nyata adanya.

Namun, meskipun aku mengharap hadirnya saudara lelaki dalam hidupku, aku tak sekali pun mengharap hadir lagi di hadapanku seorang adik. Cukuplah interaksi dingin kepada dua adikku itu. Tak perlu ditambah lagi. Namun interaksiku di dunia kerja dengan rekan-rekan kerja yang lebih muda telah mengakibatkan aku mau tak mau menjadi kakak bagi mereka. Di kantor, kami bagaikan satu keluarga, dan semua yang muda-muda mengadik kepadaku. Sampai di situ tak ada masalah. Tak ada hak dan kewajiban. Hanya sekedar penghangat suasana.

Pernah ada seseorang yang datang dalam kehidupanku dan kuangkat adikku. Tapi dia sungguh bagai empedu yang dibungkus karamel permen. Manis di awal, tapi pahit di dalamnya. Hal ini menyisakan trauma yang menahun dalam diriku. Sejak saat itu, aku tak ingin punya relasi sangat dekat lagi dengan siapa pun dan sampai kuangkat sebagai saudara. Siapa pun.

Hingga pada suatu hari, ada seseorang yang kukagumi dari jauh menyapa dengan sangat hangat di whatsapp. Dia memaksa menjadikanku kakaknya. Padahal kami baru saja kenal. Ah, waktu itu sungguh aku tak mampu menolaknya. Akhirnya aku setuju dipanggil "Uni" olehnya :)

Dalam perjalanan waktu bersamanya selama 2 bulanan ini, aku -entah kenapa- betul-betul tak bisa membendung arus kasih sayangku kepadanya. Jangan tanyakan alasannya karena aku pun tak tahu mengapa. Tapi, ah bukankah rasa cinta tak pernah butuh alasan? Sebagaimana memberi. Tak perlu ditanyakan mengapa memberi. Memberi hanya karena ingin memberi. Bukan karena sesuatu lalu memberi.

Kepribadiannya yang sulit kutebak menjadikan aku tak mengerti, adakah ruang khusus untukku dalam hati dan hidupnya. Ini hikmahnya. Dengannya aku berlatih menjadi akar yang menghujam ke dalam tanah dan menopang dia, sebuah cikal pohon besar yang tinggi dan rindang. Menjadi akar adalah sebuah cermin kerelaan. Tak terlihat tapi ada. Bahkan sangat berperan dalam hidup. Atau seperti matahari. Ada, tapi tak mampu dipandang. Demikianlah yang kucamkan di dalam hatiku, tentang sebuah ketulusan.

De, ayo segera ke mari. Uni rindu.

Senin, 18 Agustus 2014

Deadlock

Hari ini adalah hari kesekian puluh -atau bahkan ratus- aku masih terjebak deadlock berkepanjangan. Aku bingung harus menulis apa. Aku seperti kehilangan spirit menulisku: bersemangatlah untuk menulis seperti bersemangatnya fajar yang terbit di pagi hari. Pikiranku ke sana kemari. Entah apa sebenarnya yang mengganggu. Tapi benarlah kesimpulan banyak orang, bahwa hatiku masih banyak mendominasi otakku.

Aku tak mampu memerintah segenap anggota tubuh ini untuk berkonsentrasi di depan notebook mungilku untuk menunaikan segala macam kewajibanku. Aku cuma bisa terpekur. Diam. Hening. Padahal tak sesuatu pun kurenungkan. Terjebak dalam lamunan sendiri yang entah apa temanya.

Aku mencoba untuk menulis lagi sedikit kata di sini. Semoga memancing banyak kata untuk esok hari.

Sekarang aku mau tidur dulu. Besok kita lanjutkan lagi. Mari.